Kamis, 14 Januari 2010

I Love You . . . Mom!

I LOVE YOU . . .  MOM!
Cerpen : Wahyudi
Tarania, gadis cilik umur 12 tahun. Baru duduk di kelas VI SD  Harapan Bunda.  Sebuah sekolah swasta cukup favorit di Kabupaten Kebumen Beriman ini.       Tarania adalah seorang gadis yang rajin dan pintar.  Maka tak heran, ia selalu mendapatkan peringkat pertama di kelasnya.  
Tarania juga disenangi teman-temannya.  Karena ia pandai membawa diri.  Tidak sombong meski memiliki prestasi di kelas. 
Hanya satu kekurangannya.  Tarania bukanlah berasal dari keluarga yang tergolong mampu.  Yudi, bapaknya, hanya seorang buruh serabutan.  Bekerja manakala ada orang yang membutuhkan tenaganya.  Sedangkan Menik, ibunya,  hanya seorang tukang jahit kecil di Pasar Mertokondo dekat rumah kontrakannya. Namun begitu, keluarga ini tetap tawakal menjalani kehidupannya.
Bulan depan, tepatnya pada 24 April adalah hari ulang tahun Adelia.  Teman sekelas Tarania.  Bahkan teman satu meja dengan Tarania.  Adelia tergolong gadis yang beruntung.  Orang tuanya termasuk orang yang mampu. 
Pada hari ulang tahun itu, semua teman sekelas diundangnya. Orang tua Adelia mengundang Kak Suryo, pendongeng terkenal di Kebumen untuk memeriahkan acara ulang tahun Adelia.  Konon, perayaan  yang tergolong meriah itu, baru kali ini dilakukan.  Sekalian syukuran karena berhasil masuk sekolah favorit, katanya.
            Kini Tarania yang serba salah.  Mengapa? Umumnya, menghadiri perayaan ulang tahun akan berpenampilan menarik. Mewah, bahkan.  Tapi, apa hendak dikata? Tarania hanyalah gadis dari kalangan keluarga yang pas-pasan.
            Tidak! Tarania bukanlah gadis yang lemah!  Ia menabung.  ”Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit.”, begitu kata bijak yang pernah didengarnya. 
            Aktifitas menabung Tarania rupanya tak luput dari pandangan sang Ibu.  Sang Ibu menghela nafas dalam.
            Tanggal 21 April. Tarania membuka tabungannya.  ”Alhamdulillah,” seru Tarania dalam hati.  Hasil tabungannya dirasa cukup untuk sekedar membelikan kado buat Adelia, sahabat karibnya itu.  Soal pakaian? Tidak jadi masalah! Apapun jadilah.  Yang penting, pakaian yang bersih dengan senyuman, pasti akan membuat Adelia sahabatnya itu gembira.
            Dengan tekad yang penuh, Tarania pergi ke pasar bermaksud membeli kado ulang tahun untuk Adelia.  Tapi malang, di Pasar Mertokondo yang kecil itu, Tarania kecopetan. 
            Sedih, marah, bercampur gundah.  Tarania kembali ke rumah dengan langkah yang gontai.  Wajahnya memperlihatkan sendu yang teramat dalam. 
            Sesampai di rumah, Tarania langsung masuk ke kamar.  Kaget.  Di atas tempat tidurnya, sudah terdapat bungkusan kado sederhana tapi terlihat bagus.  Di sebelahnya, terdapat baju setelan yang sangat indah dilihat. 
            Tarania membalikkan badan bermaksud keluar kamar mencari Ibunya.  Di depannya, terlihat Ibu Menik berdiri dengan senyum yang sangat menyejukkan hati.
            ”Ibu. . . . .”  ujar Adelia terharu menerima kenyataan yang serba cepat itu.
            ”Ada apa, Sayang? Maaf, tanpa sepengetahuanmu, Ibu buatkan kamu baju sederhana dari kain perca sisa membuat baju-baju orang langganan Ibu.  Di bungkusan kado itu, juga ada tempat pensil yang dibuat dari kain perca juga.  Ibu kira bisa untuk mengahadiri perayaan sahabtmu. Moga kamu senang ya, Nak?”
            ”Ibu. . .  ”  Tarania hanya mampu mengucapkan kata itu.  Senang bercampur haru menyelimuti Tarania. 
            Jam 14.00. Tanggal 24 April.  Dengan rasa bahagia, Tarania mendatangi undangan Adelia, sahabatnya yang lagi berulang tahun.  Sedikit terlambat, sebab sudah banyak teman dan tamu undangan yang datang.
            “Selamat siang? Maaf, Teman. Saya datang terlambat, nih.” ujar Tarania tersipu malu yang langsung bergabung dengan teman-teman sekelasnya.
            “Oh,  Tarania.  Tidak.  Tidak kok,” ujar Adelia tersenyum dan terlihat sangat bahagia dengan kedatangan Tarania.
            “Kamu tampak lebih cantik dengan baju yang kamu kenakan, Teman,” ujar Dita.
            “Ah, ini baju buatan Ibuku.  Hanya dibuat dari kain-kain perca.  Gak  ada yang istimewa kok.” Tarania menutupi rasa kikuknya.
            ”Sungguh, aku juga sepakat dengan kata Dita,” ujar Siti.
            ”Iya.”
            ”Iya. . . . ” ujar teman-teman Tarania bersahutan membenarkan kata-kata Adelia.
            ”Temanku . . . apa . . . apa aku bisa pesan baju yang sama pada Ibumu?  Aku pengen banget deh, punya baju seperti punyamu?  Boleh ya? Please. . . ?”
            ”Aku juga ya?”
            ”Aku juga dong?”
            ”Aku juga . . . . ” Kini teman-teman Tarania ramai-ramai berpesan baju seperti yang dikenakan Tarania.
            ”Kalo aku sih. . .  ya . . . bisa.  Tapi, ini kan Ibuku yang buat. Nanti aku sampaikan pada Ibuku dulu ya?”
                                                            ooo0ooo
            Sesampai dirumah, Tarania langsung menyampaikan pengalamannya pada Ibu Menik.
”Tapi, nanti teman-temanmu apa berkenan ya?” tanya Ibu Menik sedikit ragu.
”Yang penting, Ibu buat aja dulu seperti yang Ibu buatkan untukku. Nanti biar teman-temanku yang menjawab keraguan Ibu.” ujar Tarania.
Pada malam harinya, Ibu Menik mulai membuat baju-baju pesanan teman-teman Tarania. Tentu saja Tarania juga ikut membantu. Bahkan, Pak Yudi sesekali juga ikut membantu. 
Hanya dalam waktu kurang dari sepuluh hari, delapan stel baju sudah jadi. 
Langsung dibawa ke sekolah keesokan harinya. 
”Pas banget. . . !” ujar teman-teman Tarania serempak. ”Aku sukaaa . . .  banget. Makasih ya, Teman?” kata Adelia.
Tarania tersenyum bangga.
Sejak saat itu, tersiarlah kabar bahwa Ibu Menik, ibunda dari Tarania adalah penjahit yang handal.  Tentu saja, banyak teman Tarania yang memesan baju seperti yang dikenakan Tarania saat menghadiri ulang tahun Adelia.
Kini Ibu Menik dan Tarania disibukkan dengan pesanan-pesanan itu.  Kehidupan keluarga Pak Yudi pun kini menjadi lebih baik.  Ibu Menik bersyukur bahagia. Tarania tersenyum bahagia.  Dalam hati, Tarania tak henti-hentinya bersyukur pada Tuhan. 
Melalui keterampilan Ibunya, kehidupan mereka menjadi lebih baik.
”I LOVE YOU . . .  MOM” ujar Tarania  penuh syukur sambil memeluk dan mencium Ibunya.****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar