Rabu, 16 Desember 2009

MAJAS atau GAYA BAHASA
            Yang menjadikan karangan seorang pujangga indah adalah karena kesanggupannya meramu kata. Pilihan katanya tepat dan menarik.  Seolah-olah memiliki jiwa, hidup, dan segar. Pemakaian kata – kata yang berjiwa, segar dan dapat menggetarkan perasaan pembaca atau pendengar itulah yang disebut gaya bahasa atau plastik bahasa atau majas.
            Gaya bahasa tiap pengarang tentu saja berbeda. Yang sama adalah bahwa gaya bahasa itulah yang menimbulkan keindaha pada cipta sastranya. Pada garis besarnya, gaya bahasa dapat dikelompokkan menjadi empat bagian besar :
A.     Gaya Bahasa Penegasan
Gaya bahasa ini paling tidaka ada 16 macam, yaitu:
1.      Pleonasme, yakni penegasan dengan menggunakan kata yang sama maksud dengan kata yang mendahuluinya.
Contoh:
a.       Naiklah ke atas! (ke atas sudah berarti naik)
b.      Aku telah menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri. (menyaksikan selalu dengan mata, mata selalu di kepala, tidak ada melihat dengan mata kaki. Ini berarti pleonasmenya dua kali)
2.      Repetisi, yaitu penegasan dengan jalan mengulang kata yang dipakai dalam pidato atau karangan prosa.
Contoh:
a.       Selama nafasku masih mengalir, selama darahku masih mendesir, selama jantung di dadaku masih berdenyut, aku akan tetap melakukannya.
c.       Di sana aku dapat melihat pegunungan yang indah. Di sana aku dapt pula melihat terbit dan terbenamnya mentari. Di sanalah kekagumanku pada ciptaan-Nya semakin bertambah besar.
3.      Tautologi, penegasan dengan jalan mengulang kata beberapa kali dalam sebuah kalimat.
Misalnya:
a.       Terus, teruskanlah cita-citamu!
b.   Tidak, tidak mungkin dia serendah itu!        
4.      Paralelisme, yaitu gaya pengulangan pada puisi. Jika pengulangan di awal baris dinamakan anafora.  Jika pengulangan di akhir baris disebut epifora.
Contoh anafora :        Junjunganku,
Apatah kekal,
Apatah tetap,
Apatah tak bersalin rupa
Apatah boga sepanjang masa,
                                                                        (Amir Hamzah)
Contoh epifora :            Kalau kau mau, aku akan datang
                                    Kalau kau kehendaki, aku akan datang
                                    Jika kau minta, aku akan datang
5.      Kilamaks, yaitu melukiskan keadaan yang makin menarik (nsik).
Contoh:
a.       Bukan hanya satu, dua, atau tiga, tetapi beratus-ratus korbannya.
b.      Hujan renyai-renyai, rintik-rintik, dan akhirnya seperti ditumpahkan dari langit.
6.      Antiklimaks, yaitu melukiskan keadaan yang makin menurun.
Contoh:
a.       Presiden, para menteri, para pembesar, dan rakyat jelata semuanya hadir dalam pesta itu.
b.      Kakeknya, ayahnya, dia sendiri, dan kini anaknya semua tak luput dari penyakit itu.
7.      Retoris, yaitu pertanyaan yang tak memerlukan jawaban, karena telah sama-sama dimaklumi jawabannya, Dalam pidato, biasanya dipakai untuk menandaskan maksud atau mengajak.
Contoh:
a.       Tidakkah semua menghendaki kebahagiaan?
b,    Sudahkah tercapai masyarakat adil dan makmur?
8.      Inversi, yaitu susunan kalimat yang predikatnya mendahului subjek, untuk menghidupkan pernyataan.
Contoh:
a.       Datanglah ia perlahan-lahan.
b.      Menangislah kekasihnya tersedu-sedu.
9.      Elipsis, yaitu kalimat yang subjek atau predikatnya tak lagi disebutkan karena dianggap sudah diketahui. Kata-kata yang ada mendapat penegasan.
Contoh:
a.       Pergi! (Mungkin maksudnya: Pergilah kau sekarang!)
b.  Saya? (Mungkin maksudnya: Dia mencuri lagi?)
10    Koreksio, yaitu penggunaan kata lain yang lebih tepat sebagai koreksi terhadap kata yang dipakai terdahulu.
Contoh:
a,  Dia kekasihku, eh bukan, adikku!
b.  Bajunya kemerah-merahan, bukan merah muda yang dikenakan kemarin.
11.  Interupsi, yaitu penyisipan kata atau kelompok kata pada kalimat. Maksudnya, untuk menjelaskan sesuatu dalam kalimat itu.
Contoh:
a, Tiba-tiba ia – suami itu – direbut oleh anak lain.
b. Ia – juga teman – temannya – telah pergi meninggalkan daku sendiri.
12.  Asindeton, yaitu menyebutkan hal, keadaan, atau benda secara berturut-turut tanpa menggunakan kata penghubung agar pembaca mengalihkan perhatiannya kepada hal-hal yang disebutkan itu.
a,  Bus, truk, jip, sedan, becak, sepeda motor semuanya ditahan dan penumpangnya diperiksa satu persatu.
b.  Meja, kursi, bale-bale, semua masih berantakan.

13.  Polisindeton, yaitu melukiskan rangkaian kejadian dengan menggunakan kata penghubung.
            Contoh:
            ”Maka apabila sampailah dekat kepada kampung orang, apabila orang empunya kampung itu melihat akan dia, maka diusirnyalah dengan kayu, maka si miskin itupun larilah ia ke pasar.”
14.  Preterito, yaitu penyampaian maksud yang sebenarnya oleh pengarang agar pendengar mau berpikir dan turut menyelidiki.
Contoh:
a,  Aku tak perlu mengatakan siapa pelaku pencurian itu, kalian telah tahu pelakunya.
b.  Aku tak perlu berpanjang kata tentang hal itu.  Nasi telah menjadi bubur. Yah ... sudahlah.
15.  Enumerasi, yaitu beberapa peristiwa yang membentuk satu kesatuan dilukiskan satu persatu agar tiap-tiap peristiwa dalam keseluruhannya itu tampak dengan jelas.
      Contoh:
”Manusia hidup dari zaman ke zaman. Yang satu bertaut dengan yang lain.  Rukun dan damai selalu dijaga. Silang sengketa dijauhkan.  Saling jaga tata susila. Saling bina martabat bersama,  Agar semua hidup bahagia.”
16.  Eksklamasi, yaitu pemakaian kata-kata yang seru agar mempertegas seruan.
      Contoh:
      a. Aduh, aduhai moleknya boneka di etalase itu!
            b. Yah, biar, biar kupeluk, ah, dengan tangan menggigil.
                                          

B.   Gaya Bahasa Perbandingan
      Gaya bahasa ini paling tidak ada 16 macam:
1.      Metafora.  Membandingkan sesuatu secara langsung.
      Contoh:
a.   Sang ratu malam telah muncul di ufuk timur.  (ratu malam = bulan)
b,  Jantung hatinya hilang tanpa pesan. (jantung hati = kekasih)
2.      Personifikasi, yakni melukiskan benda mati seolah-olah hidup, bergerak, dan berbuat seperti manusia.
Contoh:
a.       Badai menderu-deru, lautan mengamuk.
b.      Buih laut menjilat-jilat pantai.
3.      Asosiasi.   Perbandingan yang menimbulkan asosiasi terhadap keadaan yang sebenarnya.
Contoh:
a.       Mukanya bagai bulan penuh.
b.      Mukanya bagai bulan kesiangan.
4.      Litotes. Gaya bahasa unrtuk merendahkan diri dengan menyebutkan keadaan yang berlawanan.
Contoh:
a.       Mampirlah ke pondok kami.
b.      Apa yang dapat kubanggakan.  Ilmu tiada, harta pun tak punya.
5.      Metonimia. Gaya bahasa yang melukiskan arti yang mengkhusus karena telah merupakan istilah yang tertentu dan telah bergeser dari arti yang semula.
Contoh:
a.       Minggu depan ia tukar cincin.
b.      Ia datang menggunakan Katana, bukan Ford.
6.      Simbolik atau perlambang. Melukiskan sesuatu  benda dengan simbol atau lambang.
Contoh:
a.       Lintah darat harus dibasmi.
b,  Jangan pernah percaya dengan buaya darat!
7.      Eufemisme. Gaya bahasa pelembut atau pemali, yaitu pemakaian kata-kata halus sebagai ganti kata-kata yang dianggap kasar , kurang sopan, atau tabu.
Contoh:
a.       Saya akan ke belakang sebentar.
b.      Pohon itu ada penghuninya.
8.      Hiperbola. Gaya bahasa yang dipakai untuk melebih-lebihkan sesuatu.
Contoh:
a.       Harga sembako di pasar tradisional terus melambung.
b.   Biaya hidup semakin mencekik leher kaum duafa.
9.      Alusio. Pemakaian karmina atau pantun kilat yang tidak diselesaikan, untuk menyampaikan maksud yang bersembunyi.
Contoh:
a.       Sudah gaharu cendana pula.
b.      Pinggan tak retak, nasi tak dingin. (Tuan tak hendak, kami pun tak ingin)
10.  Parabel. Maksud yang samar-samar yang terdapat dalam uraian sebuah cerita.  Pembaca harus menelaah sedalam-dalamnya agar mengerti maksud karangan tersebut.
Contoh:
a.       Bhagawat Gita, mengandung ajaran.
b.  Cerita Ramayana, mengandung maksud bahwa yang benar tetap benar.
11.  Tropen. Kiasan dengan kata atau istilah lain terhadap pekerjaan yang dilakukan seseorang.
Contoh:
a.       Pikirannya melambung tinggi.
b.      Berhari-hari ia terbenam dengan buku.
12.  Pers pro toto. Menyebut sebagian, tapi yang dimaksud seluruh bagian (arti kata meluas).
Contoh:
a.       Bapak Lurah membangun Jembatan Gantung.
b.      Rudi Hartono memenangkan Thomas Cup.
13.  Totem pro parte. Menyebutkan seluruh bagian, tapi yang dimaksud sebagian saja (arti kata menyempit).
     Contoh:
a.       Sekolah kami memenangkan pertandingan itu.
b.      Indonesia adalah negara agraria.
14.  Perifrasi. Gaya bahasa perbandingan dengan jalan mengganti sebuah kata dengan gabungan kata (frase) yang sama artinya dengan kata tersebut.
Contoh:
a.       Ketika matahari masuk ke peraduan, barulah ia tiba.
b.   Kuda besi yang panjang itu terus berlari.
15.  Antonomasi. Gelaran atau julukan terhadap seseorang.

Contoh:
a.       Si kancil sedang membual.
b.      Pak Pandir selalu menemukan keuntungan.
16.  Alegori. Pemakaian beberapa kiasan atau perbandingan yang lengkap untuk melukiskan beberapa hal atau keadaan.
Contoh:
”Hati-hatilah kamu mengarungi bahtera hidupmu, mengarungi lautan penuh bahaya, batu karang, gelombang, topan, dan badai.  Jika nahkoda dan juru mudi senantiasa seia sekata dalam melayarkan bahteranya, niscaya akan tercapai tanah tepi yang menjadi idaman.”

C.    Gaya Bahasa Sindiran
      Gaya bahasa ini ada tiga macam:
1.     Ironi, yakni gaya bahasa sindiran halus.
Contoh:
a.       Banyak benar uangmu.
b.  Bagus benar tulisanmu.
2.     Sinisme, yakni gaya gaya bahasa sindiran tajam.
Contoh:
a.       Sakit telingaku mendengarkan suaramu.
b.      Sepanjang hari, makan saja kerjamu.
3.     Sarkasme, yakni cemooh yang sangat kasar, bahkan kadang-kadang merupakan kutukan.
   Contoh:
a.       Cih! Jijik aku melihatmu!
b.      Mampuslah kau, tidak mau menuruti nasihat orang.

D.   Gaya Bahasa Pertentangan
     Gaya bahasa ini ada 4 macam, yaitu:
1.     Kontradiksi, yakni gaya bahasa pertentangan dengan jalan menggunakan sebuah kata yang bertentangan dengan arti kata yang dipakai terdahulu.
Contoh:
a.       Semua buku telah kumiliki, kecuali buku bahasa Indonesia.
b.      Para tamu undangan telah hadir, kecuali Pak Camat.
2.      Paradoks. Melukiskan sesuatu yang seolah-olah berlawanan, tetapi ada logikanya.

Contoh:
a.       Di kota yang ramai ini, aku merasa kesepian.
b.      Hartanya banyak, tetapi dia miskin.
3.     Antitesis. Pemakaian kata-kata yang berlawanan arti, untuk lebih menghidupkan pernyataan.
Contoh:
a.       Tua-muda, besar-kecil, laki-laki -  perempuan, berduyun-duyun ke tanah lapang.
b.      Hidup-matinya, senang-susahnya, serahkanlah pada-Nya.
4.     Okupasi, yakni gaya bahasa yang menyatakan bantahan atau keberatan terhadap sesuatu yang oleh umum dianggap benar.
Contoh:
”Merokok itu sangat merugikan. Tak ubahnya seperti kita membakar uang.  Banyak orang yang terserang penyakit kanker paru-paru karena menghisap rokok.  Tapi, banyak orang yang baru dapat bekerja/belajar setelah/sambil merokok.  Sebab dengan merokok, akan timbul kreasi dan inspirasinya.”


ooo0ooo
































MAKNA KATA
            Bagian tata bahasa yang meneliti makna kata dan perkembangannya disebut semantik. Sedangkan yang dimaksud dengan makna kata / arti kata adalah hubungan antara lambang bunyi ujaran dengan hal / barang (benda) yang dimaksudkan oleh ujaran itu.
1.     Makna Leksikal
Yakni makna kata yang sesuai dengan makna yang sebenarnya. Atau makna kata yang dijelaskan dalam buku kumpulan kata – kata / leksikon (kamus).
Contoh : kendala    = hambatan
                dampak  = pengaruh
          agitasi     = hasutan
          beku       = menjadi kental / keras
          dian        = lampu
          transisi    = peralihan
2.     Makna Struktural / Makna Gramatikal
Adalah makna kata yang diperoleh akibat  penempatan / perubahan dalam kalimat.
Contoh :
a.       Ayat sedang mengadu domba dengan Herman (mengadukan domba).
b.      Dengan cara mengadu domba, Belanda berhasil menguasai sebagian Indonesia (memecah belah).
3.     Makna Denotasi
Yakni kata – kata yang dalam pemunculannya memiliki arti yang lebih kurang pasti. Atau kata – kata yang mengandung arti yang sebenarnya (objektif).
Contoh:
a.       Pepes belut di meja makan, habis dimakan tikus.
b.      Endang memetik bunga di kebun belakang rumah.
4.     Makna Konotasi
Adalah makna yang didapat melalui tafsiran yang ditimbulkan secara emosional dan subyektif Atau kata-kata yang mengandung arti subyektif (tafsiran).
Contoh:
a.       Barang di gudang habis dimakan tikus malam.
b.      Endang adalah bunga desa Kebun Mangga.
5.     Perubahan Makna
a.       Meluas, yaitu makna kata yang sekarang lebih luas dibandingkan dengan makna dahulu.
Contoh:
bapak, dahulu kata ini hanya dipakai untuk orang tua kita (=ayah). Sekarang, dipakai juga untuk menyebut kaum LAKI-LAKI  yang lebih tua/untuk penghormatan.
(saudara, kakak, adik, ibu, dan lain-lain).
b.      Menyempit, yaitu makna kata yang lama lebih luas daripada yang ada sekarang.

Contoh:
sarjana, sekarang kata ini hanya dipakai untuk menyebut orang yang telah menyelesaikan pendidikan tertentu. Tetapi, dahulu dipakai untuk menyebut orang yang berwawasan luas.
(kyai/nyai, pendeta, imam, dan lain-lain)
c.       Amelioratif, yaitu makna kata baru dirasakan lebih tinggi dan lebih baik nilainya dari semula.
Contoh:
wanita, dirasakan lebih baik daripada perempuan
ibu, lebih baik daripada nyai/nya
nyonya/istri, lebih baik daripada nyi/bini
suami-istri, lebih baik daripada laki-bini
d.      Peyoratif, adalah kata yang ada sekarang dirasakan lebih rendah nilainya dari semula.
Contoh:
kaki tangan, sekarang dapat diartikan sebagai mata-mata
bang, sekarang dirasakan untuk penyebutan orang yang lebih rendah ----- ”kakak”

                                                      ooo0ooo

puisi pusing

pertama kali kugapai 'gawe"
senang dan syukur
slalu kupanjatkan

coba kuyakinkan
bahwa smua adalah anugrah tuk hambaNya
yang syukur slalu

kini label "sertifikasipun" kusandang
tapi, apa itu dah cukup buatku "profesional"?

aku ragu
aku sangsi

apakah aku dah ok dengan predikat itu?

aku "pusing" deh

bener kata temanku
aku guru di "sekolah favorit" yang 'kecelakaan"

?????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????