Jumat, 24 September 2010

Memuji dan Mengritik?

Memuji-Mengritik Adakah Resiko? ( menilik kasus Faizal Assegaf )
OPINI Ragile| 4 April 2010 | 15:06

Silang pendapat menyeruak sejak dibekukannya akun Faizal Assegaf 30-mar-2010. Tercatat Minami menulis di sini. Lalu Om Jay (Wijaya Kukumah) di sini. Linda menulis di sini. Pepih Nugraha mengimbangi di sini.

Bagi saya sangat menarik mengamati silang pendapat pada artikel-artikel di atas yang menunjukkan adanya dinamika berpikir dan bersuara di Kompasiana. Walaupun agak timpang karena Faisal Assegaf keburu diblokir akunnya sehingga hanya bisa berteriak dari tengah padang pasir nun jauh di sana.



Kita tahu adalah sehat ada memuji ada mengecam. Dan jadi meriang panas-dingin jika kebablasan memuji dan keterlaluan mengecam. Ini di ruang publik dan untuk konsumsi publik. Kebablasan memuji akan mengundang reaksi, “Eh, cari muka ya?”. Keterlaluan mengecam tanpa bukti dan indikasi akan mengundang komen sinis, “Brengsek nih. Dibayar berapa sih?”

Apa boleh buat kita menulis di ruang publik tidak hanya harus paham etika tapi juga paham resiko dari apa yang kita tulis.

Andaikata hari ini saya memuji Kompasianer X dengan julukan “Pahlawan Nasional Kebahagian Rumah Tangga” tentu akan ada yg setuju. Dan harus siap digempur oleh pembaca yang kontra dg segala macam caci-maki, “Pahlawan nasional, siapa dia? Kamu menjilat?”.

Andaikata hari ini saya menuduh Kompasiner Y adalah anggota Admin penghianat dan menilap kas Kompasiana, bisa jadi ada yg manggut-manggut. Pada saat yg sama saya harus siap dibombardir pertanyaan tentang sumber informasi, bukti, dll. Juga harus siap akun saya diblokir karena menyebarkan kebencian dan fitnah, apalagi terhadap tuan rumah. “Kamu asal berkoar, fitnah, nggak mutu!” mungkin itu komen yg didapat.

Saya hanya ingin mengingatkan di sini bahwa kebebasan selalu ada batas. Tak pantas memuji tanpa batas yg sulit diterima akal sehat, waras, dan nalar- bikin jengah. Tak lucu mengecam tanpa bukti dan indikasi yg hanya terdorong kebencian pribadi - bikin muak. Ancaman jerat hukum pidana di depan mata.

Kita menulis sesuai hati nurani dan keyakinan tanpa maksud mencelakakan orang lain baik melalui kritikan maupun pujian. Penulis sejati, setau saya, berusaha menyuarakan kebenaran - tak ada kaitan dengan jumlah dukungan, tidak ada kaitan dengan kedudukan/ klaim si penulis.

Kebenaran tidak berharap kata-kata manis, tidak berharap suara paling keras, hanya berharap mengatakan apa adanya.