Senin, 29 November 2010

GURU MENGAJAR DENGAN HATI?

"Selamat Hari Guru, ya Pak?"
Tiba-tiba dari arah belakang terdengar kalimat itu. Saya menoleh ke arah suara datang. Ternyata, kulihat di sana beberapa siswa kami - bersama-sama - mengucapkan kalimat begitu saja. Kupandang sejenak. Satu per satu. Mereka tegap - tenang penuh keyakinan sambil tersenyum bahagia.


Alhamdulillah. Ada juga siswa kami yang penuh kebanggaan mengucapkan kalimat itu di hadapanku. Setelah sebelumnya, ada seorang siswa kami - VNP, pada 13 November lalu, dalam penafsiranku, penuh ejekan - cacian dalam kalimat yang dibuatnya kepada guru. Setidaknya, kepadaku.

Kini, sedikit terobati rasa "ketidaknyamananku" dengan adanya ucapan yang tulus itu. Ya . . . ucapan tulus itu sungguh memotivasiku bahwa profesi guru adalah sebuah profesi yang mulia.

Di tempat lain, seorang temanku mendapatkan sms dari teman-teman di luar sana. "Selamat Hari Guru, semoga kita tetap istikqomah di jalur guru. Amiiin."

Sungguh sejuk bunyi sms itu. Karena senangnya, sms temanku itu dibacakan di depan siswanya. Lagi-lagi, seorang siswa kami - di seputar VNP nyeletuk, "Ya . . . moga para guru itu juga bisa mengajar dengan hati." "Amiiin," serentak para siswa di kelas itu mengamininya.

Ya . . . moga, dengan peringatan hari guru ini juga, para siswa kami semakin "punya hati".

Minggu, 21 November 2010

aku tak mampu?

Sungguh terkejut - kaget - tak percaya - mengelus dada - dan seratus perasaan tak sedap menyelinap dalam dadaku. Saat kubaca hasil "ulangan" siswa "terhebatku". VNP, namanya. Gak terlalu pinter, jika guru tak boleh mengatakan siswa "thoklo". Ya . . . meski banyak teman guru yang mengatakan bahwa anak itu memang "istimewa". (:ra te pinter - ujar temanku dari Solo - EL. - anak itu memang . . . bodoh lah - ujar temanku yang tinggi besar itu - PSB, dan masih banyak lagi guru yang punya penilaian khusus pada VNP itu).



Hari itu, 13 November 2010, jam ke-5 dan 6, antara pukul 10.00 s.d. 11.20, seperti yang telah kurencanakan sebelumnya, kuberikan 16 soal bahasa Indonesia. Semuanya membuat kalimat dengan kata yang telah kubatasi. (Membuat kalimat yang mengandung makna leksikal, gramatikal, meluas, menyempit, amelioratif, peyoratif, meluas, dan menyempit). Hasilnya? Sungguh membuat kepala ini berpikir hingga 100 kali. Dari 16 kalimat, hanya ada tiga (3) kalimat yang tidak menuliskan namaku. Tanpa sebutan 'Pak' atau 'Bapak' layaknya seorang siswa kepada gurunya yang laki-laki. Dari ketiga belas kalimat itu, semua bernada miring - kasar - memaki - dan menghina?

Ingin tahu? Lihat saja:
1. Wahyudi nyetir mobil.
2. Wahyudi cuci baju.
3. Wahyudi berlari dengan cepat.
4. Wahyudi sedang bersedih hati.
5. Wahyudi menulis surat di meja.
6. Wahyudi minum susu.
7. Wahyudi menjadi kambing hitam dalam pertikaian tersebut.
8. Wahyudi diisukan menjadi tikus kantor.
9. Wahyudi berlayar dilaut.
10. Wahyudi adalah penambang ilegal.
11. Wahyudi mencari pembantu rumah tangga.
12. Putra putrinya sudah lulus sarjana.
13. Para tunawisma berlinangan air mata menahan tangis.
14. Namanya cemerlang sejak ia meraih gelar tersebut.
15. Sejak berhenti sekolah Wahyudi menjadi tukang cukur.
16. Wahyudi mati di bunuh istrinya.

Aku coba mencari jawab atas 'keganjilan itu'. Tapi, tak kudapatkan.

Selang dua hari, tepatnya pada Selasa, 16 November 2010, di ruang Kurikulum, setelah ybs - VNP, selesai mengikuti TUC susulan, kutanyakan mengapa menjawab seperti itu atas pertanyaan dalam soal yang kubuat. Jawabnya, sungguh ringan :"Saya cuma ingin tahu, apakah Bapak akan marah dengan pertanyaan itu."

"Menurutmu, saya marah dengan kalimat yang kamu buat itu?" tanyaku melanjutkan.

"Saya nggak tahu, 'kan Bapak yang punya perasaan itu". VNP - siswa kami yang istimewa itu menjawab pertanyaanku dengan ringan. Tanpa ekspresi apapun.

Aku tidak teruskan pertanyaanku. Aku tak mampu tuk "mengorek" lebih jauh tentang 'itu'.

Yang ada dalam benakku kini hanya satu : apakah aku tak pantas - tak mampu tuk berdiri - menjadi guru di kelas itu? Apakah aku begitu . . . . ?